Orang-orang ‘Cina’ peranakan yang tinggal menetap turun temurun di Indonesia, sejak masa
reformasi sekarang ini, telah berhasil memperjuangkan agar tidak lagi disebut sebagai orang
‘Cina’, melainkan disebut sebagai orang Tionghoa. Di samping itu, karena alasan hak asasi
manusia dan sikap non-diskriminasi, sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi
Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi,
seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah
pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan ‘Cina’ dengan warga negara
Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk
pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Manado, Cina,
dan lain sebagainya.
Karena itu, status hukum dan status sosiologis golongan keturunan ‘Tionghoa’ di tengah
masyarakat Indonesia sudah tidak perlu lagi dipersoalkan. Akan tetapi, saya sendiri tidak begitu
‘sreg’ dengan sebutan ‘Tionghoa’ itu untuk dinisbatkan kepada kelompok masyarakat Indonesia
keturunan ‘Cina’. Secara psikologis, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, istilah ‘Tionghoa’ itu
malah lebih ‘distingtif’ atau lebih memperlebar jarak antara masyarakat keturunan ‘Cina’ dengan
masyarakat Indonesia pada umumnya. Apalagi, pengertian dasar istilah ‘Tionghoa’ itu sendiri
terdengar lebih tinggi posisi dasarnya atau bahkan terlalu tinggi posisinya dalam berhadapan
dengan kelompok masyarakat di luar keturunan ‘Cina’. ‘Tiongkok’ atau ‘Tionghoa’ itu sendiri
mempunyai arti sebagai negara pusat yang di dalamnya terkandung pengertian memperlakukan
negara-negara di luarnya sebagai negara pinggiran. Karena itu, penggantian istilah ‘Cina’ yang
dianggap cenderung ‘merendahkan’ dengan perkataan ‘Tionghoa’ yang bernuansa kebanggaan
bagi orang ‘Cina’ justru akan berdampak buruk, karena dapat menimbulkan dampak psikologi
bandul jam yang bergerak ekstrim dari satu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain. Di pihak lain,
penggunaan istilah ‘Tionghoa’ itu sendiri juga dapat direspons sebagai ‘kejumawaan’ dan mencerminkan arogansi cultural atau ‘superiority complex’ dari kalangan masyarakat ‘Cina’
peranakan di mata masyarakat Indonesia pada umumnya. Anggapan mengenai adanya
‘superiority complex’ penduduk keturunan ‘Cina’ dipersubur pula oleh kenyataan masih
diterapkannya sistem penggajian yang ‘double standard’ di kalangan perusahaan-perusahaan
keturunan ‘Cina’ yang mempekerjakan mereka yang bukan berasal dari etnis ‘Cina’. Karena itu,
penggunaan kata ‘Tionghoa’ dapat pula memperkuat kecenderungan ekslusivisme yang
menghambat upaya pembauran tersebut.
Oleh karena itu, mestinya, reformasi perlakuan terhadap masyarakat keturunan ‘Cina’ dan warga
keturunan lainnya tidak perlu diwujudkan dalam bentuk penggantian istilah semacam itu. Yang
lebih penting untuk dikembangkan adalah pemberlakuan sistem hukum yang bersifat nondiskriminatif berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, diiringi dengan upaya penegakan
hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu, dan didukung pula oleh ketulusan semua pihak
untuk secara sungguh-sungguh memperdekat jarak atau gap social, ekonomi dan politik yang
terbuka lebar selama ini. Bahkan, jika mungkin, warga keturunanpun tidak perlu lagi menyebut
dirinya dengan etnisitas yang tersendiri. Misalnya, siapa saja warga keturunan yang lahir di
Bandung, cukup menyebut dirinya sebagai orang Bandung saja, atau lebih ideal lagi jika mereka
dapat mengidentifikasikan diri sebagai orang Sunda, yang lahir di Madura sebut saja sebagai
orang Madura. Orang-orang keturunan Arab yang lahir dan hidup di Pekalongan juga banyak
yang mengidentifikasikan diri sebagai orang Pekalongan saja, bukan Arab Pekalongan.
Proses pembauran itu secara alamiah akan terjadi dengan sendirinya apabila medan pergaulan
antar etnis makin luas dan terbuka. Wahana pergaulan itu perlu dikembangkan dengan cara
asimiliasi, misalnya, melalui medium lembaga pendidikan, medium pemukiman, medium
perkantoran, dan medium pergaulan social pada umumnya. Karena itu, di lingkungan-lingkungan
pendidikan dan perkantoran tersebut jangan sampai hanya diisi oleh kalangan etnis yang sejenis.
Lembaga lain yang juga efektif untuk menyelesaikan agenda pembauran alamiah ini adalah
keluarga. Karena itu, perlu dikembangkan anjuran-anjuran dan dorongan-dorongan bagi
berkembangnya praktek perkawinan campuran antar etnis, terutama yang melibatkan pihak etnis
keturunan ‘Cina’ dengan etnis lainnya. Jika seandainya semua orang melakukan perkawinan
bersilang etnis, maka dapat dipastikan bahwa setelah satu generasi atau setelah setengah abad,
isu etnis ini dan apalagi isu rasial, akan hilang dengan sendirinya dari wacana kehidupan kita di
persada nusantara ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar